Maret 08, 2011

Belajar Mensyukuri Kehidupan, Pemberian-Nya

Rating:
Category:Other
Awalnya sempat sedikit tak percaya, ketika seorang tukang potong di sebuah tempat potong rambut menceritakan secuil cerita kehidupannya.

"Mau dipotong kayak gimana mas??", tanyanya.

Lalu aku berkata "Mm, gimana ya??".

Ibuku yang mengantarkanku untuk potong lalu bicara, dan berkata "Yang pantes aja, kayak dulu juga gak apa-apa".

Lalu aku berkata kepada ibu "Wala bu, dipotong model apapun juga, jelek tetap jelek bu", berharap mendapat sesuatu yang menarik pada hari itu, dengan berkata seperti itu. Dan ternyata, tukang potong rambut itu berbicara kepada ku,

"Ah, nggak boleh gitu itu mas. Bagaimanapun juga, tetap ciptaan Tuhan. Menghina ciptaan Tuhan itu dosa mas. Mas menghina diri mas sendiri, sama aja dengan mas menghina ciptaan Tuhan". Lalu dia melanjutkan, "Seperti apapun orangnya, yang mau potong disini, ya tetap saya potong mas. Sekalipun kayak orang yang kemarin itu, wuih, banyak banget bolotnya. Orangnya udah item, gemuk, ketombean, apalagi bolotnya mas, hhhahah" katanya sambil menyiapkan kain. "Tapi ya tetap aja saya potong mas, cuma aja agak ngeri gitu, hhahah" lanjutnya sambil tertawa dan melihat ibuku lewat cermin yang juga ikut tertawa.

Setelah dia menyiapkan kain dan handuknya, lalu dia segera memakaikannya di pundakku, untuk menghindari potongan-potongan rambut yang jatuh agar tidak mengenai kaosku. Sembari dia mulai membasahi rambutku,

dia bertanya "Lho mas, masih sekolah apa udah kuliah?".

Akupun menjawab, "Wala, masih SMA kelas XII kok mas. Semoga aja bisa kuliah".

Dia kembali bertanya padaku "SMA nya dimana mas?".

"SMA Negeri 1", jawabku singkat.

Lalu ibuku bertanya padanya, "Mas, anaknya yang kemarin itu mana?".

Dia kembali bertanya, "Anak yang mana bu?".

Lalu ibuku menjelaskannya, "Itu lho mas, yang kemarin itu, anaknya gemuk, besar".

"Emangnya ibu kemarin lihat?", dia kembali bertanya.

"Iya, dia kan kemarin yang kesini, pas saya nganter Azril potong disini, terus dia minta uang ke mas, dan mas ngasih uang sama kunci sepeda motor", jelas ibuku.

"Itu pacar saya bu", tuturnya singkat.

Ibuku yang tak percaya, bertanya lagi "Lho mas, bukannya itu anaknya mas ya?. Bukannya istri mas itu perempuan yang kurus kecil yang kemarin duduk di sebelah itu?".

Dengan merapikan rambut belakang ku, dia menjawab, "Itu istri kakak saya bu".

"Oh, saya kira itu istrinya mas", kata ibuku.

Lalu dia berkata, "Saya itu, dulu udah pernah nikah bu. Dan sekarang saya itu duda", sambil melihat ibuku dari cermin. "Duda kok dapat anak sekolahan. Nggilani banget", lanjutnya.

Saat itu, spontan aku langsung berkata, "Lho, gimana sih mas. Katanya tadi, gak boleh menghina ciptaan Tuhan. Eh, kok ya yang bilang gitu malah ngelakuin".

"Bukannya gitu mas. Tapi, kalo punya pacar anak sekolahan gitu, ya seumuran mas gitu, saya masih harus ngajarin mas. Ngajarin mulai dari awal. Yang ngajarin inilah, itulah. Yeyek mas", sanggahnya padaku.

Lalu ibuku berkata, "Gak boleh gitu mas, kok yeyek sih".

Lalu tukang potong rambut itu berjalan ke depan cermin, dan mengambil cukuran rambut di dalam kotak plastik yang ukurannya tak begitu besar tapi cukup lebar, lalu dia mulai merapikan bulu rambutku, dan dia berkata, "Iya bu, tapi udah terlanjur, ya mau gimana lagi, udah terlanjur itu. Kalau mau ditinggal, ya kasihan dia. Tapi, kalau mau diterusin, harus ngajarin mulai awal. Ya udah terlanjur".

"Lha istrinya mas yang dulu itu katanya anaknya pak haji sapa gitu, eh, anaknya penjual emas, sapa gitu, kalo gak salah", kata ibuku yang rupanya keceplosan.

Lalu si tukang potong itu hanya menggelengkan kepala saja sambil merapikan bulu rambutku di sisi yang lainnya. Lalu ibuku berkata pada tukang potong itu, namun aku tak dapat mengingatnya. Tapi, seingatku ibuku bertanya padanya, dan berkata "Ah, mungkin gak ada apa-apa. Gak ada kenapa-kenapa mungkin", sepertinya ibuku melanjutkan perkataannya yang tadi, dan ingin mengalihkan pembicaraannya tadi, yang keceplosan.

Lalu tukang potong itu bertanya padaku, "Gimana mas?. Ditipisin lagi, atau gini aja?. Kalau ditipisin lagi, nanti rambutnya jabrik. Gimana?".

Akupun diam sejenak, dan melihat rambutku pada cermin, lalu sedikit mengernyitkan dahiku dan sedikit berpikir. Memang sudah kebiasaan bagiku, untuk mengingat-ingat apa yang telah terjadi dan selalu berpikir dalam menentukan suatu pilihan, sekecil apapun, sesederhana apapun.

"Dipikir dulu aja mas, segini atau dipendekin lagi", kata tukang potong itu, sambil duduk di kursi yang berada di sebelah ku. Lalu dia berkata pada ibuku, "Ah, habis ini mau kondangan saya".

"Kondangan dimana mas?" tanya ibuku.

"Di Kelurahan situ bu, ada yang nikah, teman saya", jawabnya.

Tak lama kemudian, aku telah menentukan pilihanku, "Udah deh mas, gini aja cukup, yang dulu udah pernah jabrik, sekarang, coba gini dulu aja", kataku sambil tersenyum.

"Ya udah mas, kalau gitu, saya bersihkan dulu", katanya sambil mengambil sikat besar yang halus di depan meja, lalu menggosokkannya pada pundakku dan di sekitar lehar dan kepalaku. Setelah dia selesai, dia melepaskan handuk yang tadi dia letakkan di pundakku. Dan akupun beranjak dari tempat duduk dan mengambil jaket yang tadinya kutitipkan ibuku.

"Makasih mas" kataku pada tukang potong itu.

Lalu ibuku menyodorkan selembar uang kertas padanya dan berkata, "Ini mas, makasih ya".

"Iya bu, sama-sama" jawabnya.

Saat aku mengambil sepeda motor yang aku parkirkan tepat di depan tempat potong rambut itu, tukang potong rambut itu mulai merapikan tempatnya dan bersiap-siap untuk menutup bedaknya itu. Rupanya, aku pelanggan terakhirnya pada hari itu.

Sesampainya di rumah, aku langsung ke atas ranjang dan bersiap untuk tidur. Sebelum tidur, aku berusaha mengingat hal-hal tadi yang aku dapatkan dari pengalamanku potong rambut. Memang aku sengaja mengingatnya, dan membuat kejadian seperti itu. Dan setelah ku ingat, ternyata kata-kata yang muncul dari kejadian tadi adalah ciptaan Tuhan, dan menghina diri sendiri. Dari situ, aku berusaha untuk menyimpulkan dan mengambil ini dari kejadian tadi. Dan setelah cukup lama mencerna, akhirnya dapat kutarik kesimpulan, dan kujadikan judul ceritaku ini "Belajar Mensyukuri Kehidupan, Pemberian-Nya".


Wahai cantik, wanita tercantik yang pernah kutemui di dunia dan seumur hidupku, sekalipun aku tak bisa memilikimu, aku tetap bersyukur dapat bertemu denganmu. Sekalipun terlalu sulit bagimu untuk memanggilku, namun aku tetap bersyukur dapat berbicara denganmu. Dan sekalipun senyummu kini tak tertuju padaku, tapi aku sangat bersyukur untuk tetap bisa melihatmu tersenyum. Disini, tepat dimana hatiku berpijak. Disini, tepat dimana hatiku bernaung. Disini, tepat dimana hatiku berada. Aku, akan menunggu waktu berlalu, melintasi jembatan yang dibatasi oleh curamnya perbedaan diantara kita. Aku, ingin melihatmu terus tersenyum dan bersinar seperti milyaran bintang di alam walaupun kau tak bersamaku. Maafkan aku, yang terlalu memaksa. Harapanku, tak akan pernah pudar dan tak akan pernah sirna dimakan oleh waktu.

Tidak ada komentar: